Tak
Henti-hentinya republik ini mengalami penderitaan krisis ekonomi,
krisis politik maupun krisis kepercayaan. Akan tetapi sebenarnya
republik ini mengalami krisis yang lebih besar dari pada itu semua,
yaitu krisis "Moral Spiritualitas".
Bukan waktu yang pendek kita sedang terlena, terhanyut pada hal-hal yang materialistis. Justru kita larut dalam spiral dan sikap Hedonisme yang memuja materi kebendaan. Ataukah memang kita telah lupa bahwa hidup ini bukan hanya bersifat materi saja. ?
Sedih rasanya saat teringat kembali peristiwa-peristiwa pelik akibat Hedonism dalam media masa beberapa waktu silam. Ada seorang mahasiswi yang tertangkap basah bermesraan bersama pejabat negri ini. Saat mahasiswi diwawancarai "Mbak, kan cantik dan rapi. Namun kenapa kuk melakukan hal ini ?"
lalu dengan polosnya mahasiswi itu menjawab "Iya mas, sy ingin beli perhiasan, motor dan HP sendiri".
Jawaban ini sungguh meruntuhkan konstruksi kebudayaan dalam negeri ini. Dan sepertinya sekarang hal ini sudah menjalar berbagai daerah di negeri ini.
Nampaknya revolusi industri yang berpengaruh pada negri ini sejak tahun 70-an telah menggeser jauh dimensi terpenting dalam kehidupan kita, yaitu dimensi "Moral Spiritual". Akibatnya Kita meninggalkannya jauh dan kita seakan dengan terus-menerus harus menenggak air laut demi mengejar kesuksesan-kesuksesan materi.
Sungguh sangat mengerikan bila Keberhasilan selalu hanya diukur dari seberapa besar mengeruk dan mengumpulkan harta benda.. Kualitas manusia akan diukur dan dilihat dari sejauh mana berhasil mengumpulkan materi.
Akibatnya, alih-alih berutujuan membangun manusia seutuhnya akan berubah menjadi membangun ekonomi semata. Pada akhirnya pembangunan "Moral Spiritualitas" yang sesungguhnya menjadi nomor paling belakang. Sehingga kita akan nampak hebat secara jasmani, Namun ompong secara moral spritual.
Namun.. Sebenarnya yang sesungguhnya telah terjadi adalah pelegalan-pelegalan tindakan yang tidak pantas dan pelegalan-pelegalan tindakan tidak dibenarkan seperti korupsi, kolusi nepotisme dan lain macam sejensinya.
Seperti halnya yang marak terjadi saat ini, memperebutkan kursi jabatan menjadi taruhan segalanya. Akibatnya, pekerjaan menjadi milik kubu kelompok tertentu saja.
Kehidupan diwarnai oleh sikap saling jebak-menjebak demi keuntungan kelompok tertentu, tuding-menunding demi kelancaran pribadi, alih-alih koalisi namun demi menggugurkan dan menjatuhkan seseorang. Bahkan konstruktis iman, moral dan spriritualitas pun akan "TERGADAIKAN".
Inilah warna yang akan mengeroposkan makna pembangunan manusia seutuhnya.Hal yang tidak benar menjadi benar, Hal yang benar pun telah diambigukan dan dimentahkan.
Terlepas setuju ataukah tidak.... Mungkin sekarang harusnya Kita sering-sering kali "Menggugat Ulang" pribadi kita sendiri.
Menggugat tentang :
- Apakah memang benar hati nurani kita telah bangkrut ?
- Apakah pemikiran kita telah mati suri, sehingga kita langsusng menjustifikasi tanpa proses klarifikasi ?
- Apakah memang kita begitu miskinnya, sehingga telah menggadaikan hati nurani kita pada "Hedonism" ?
- Apakah memang benar telah mati hati kita, sehingga sulit untuk membangkitkan spirit of life dalam ordinat kita ?
Lalu selanjutnya setiap kelompok akan bertaruh demi mempertahankan eksistensinya masing-masing. Segalanya dilekatkan pada kepentingan individu dan kelompok. Sehingga hati nurani yang secara harifiah bermakna cahaya yang membuat terang akan ditinggalkan. Diskusi pun menjadi 1 warna saja. Sehingga masing-masing kelompok tersebut lebih memilih defensif, represif dari pada dialogis.
Prinsip-prinsip tiap individu hanya didasarkan pada proses bertahan hidup (survivalitas), "yang terpenting hidup".
Proses kehidupan menjadi "Mekanistik", yang justru akan meniadakan psikologi hasil pemahaman proses-proses tertentu.
Akibatnya, Empati, simpati teradap orang lain, memahami penderitaan orang lain berubah menjadi sesuatu yang tidak perlu. "Mereka yang bukan golonganku, bukanlah urusanku".
Bukan waktu yang pendek kita sedang terlena, terhanyut pada hal-hal yang materialistis. Justru kita larut dalam spiral dan sikap Hedonisme yang memuja materi kebendaan. Ataukah memang kita telah lupa bahwa hidup ini bukan hanya bersifat materi saja. ?
Sedih rasanya saat teringat kembali peristiwa-peristiwa pelik akibat Hedonism dalam media masa beberapa waktu silam. Ada seorang mahasiswi yang tertangkap basah bermesraan bersama pejabat negri ini. Saat mahasiswi diwawancarai "Mbak, kan cantik dan rapi. Namun kenapa kuk melakukan hal ini ?"
lalu dengan polosnya mahasiswi itu menjawab "Iya mas, sy ingin beli perhiasan, motor dan HP sendiri".
Jawaban ini sungguh meruntuhkan konstruksi kebudayaan dalam negeri ini. Dan sepertinya sekarang hal ini sudah menjalar berbagai daerah di negeri ini.
Nampaknya revolusi industri yang berpengaruh pada negri ini sejak tahun 70-an telah menggeser jauh dimensi terpenting dalam kehidupan kita, yaitu dimensi "Moral Spiritual". Akibatnya Kita meninggalkannya jauh dan kita seakan dengan terus-menerus harus menenggak air laut demi mengejar kesuksesan-kesuksesan materi.
Sungguh sangat mengerikan bila Keberhasilan selalu hanya diukur dari seberapa besar mengeruk dan mengumpulkan harta benda.. Kualitas manusia akan diukur dan dilihat dari sejauh mana berhasil mengumpulkan materi.
Akibatnya, alih-alih berutujuan membangun manusia seutuhnya akan berubah menjadi membangun ekonomi semata. Pada akhirnya pembangunan "Moral Spiritualitas" yang sesungguhnya menjadi nomor paling belakang. Sehingga kita akan nampak hebat secara jasmani, Namun ompong secara moral spritual.
Namun.. Sebenarnya yang sesungguhnya telah terjadi adalah pelegalan-pelegalan tindakan yang tidak pantas dan pelegalan-pelegalan tindakan tidak dibenarkan seperti korupsi, kolusi nepotisme dan lain macam sejensinya.
Seperti halnya yang marak terjadi saat ini, memperebutkan kursi jabatan menjadi taruhan segalanya. Akibatnya, pekerjaan menjadi milik kubu kelompok tertentu saja.
Kehidupan diwarnai oleh sikap saling jebak-menjebak demi keuntungan kelompok tertentu, tuding-menunding demi kelancaran pribadi, alih-alih koalisi namun demi menggugurkan dan menjatuhkan seseorang. Bahkan konstruktis iman, moral dan spriritualitas pun akan "TERGADAIKAN".
Inilah warna yang akan mengeroposkan makna pembangunan manusia seutuhnya.Hal yang tidak benar menjadi benar, Hal yang benar pun telah diambigukan dan dimentahkan.
Terlepas setuju ataukah tidak.... Mungkin sekarang harusnya Kita sering-sering kali "Menggugat Ulang" pribadi kita sendiri.
Menggugat tentang :
- Apakah memang benar hati nurani kita telah bangkrut ?
- Apakah pemikiran kita telah mati suri, sehingga kita langsusng menjustifikasi tanpa proses klarifikasi ?
- Apakah memang kita begitu miskinnya, sehingga telah menggadaikan hati nurani kita pada "Hedonism" ?
- Apakah memang benar telah mati hati kita, sehingga sulit untuk membangkitkan spirit of life dalam ordinat kita ?
Lalu selanjutnya setiap kelompok akan bertaruh demi mempertahankan eksistensinya masing-masing. Segalanya dilekatkan pada kepentingan individu dan kelompok. Sehingga hati nurani yang secara harifiah bermakna cahaya yang membuat terang akan ditinggalkan. Diskusi pun menjadi 1 warna saja. Sehingga masing-masing kelompok tersebut lebih memilih defensif, represif dari pada dialogis.
Prinsip-prinsip tiap individu hanya didasarkan pada proses bertahan hidup (survivalitas), "yang terpenting hidup".
Proses kehidupan menjadi "Mekanistik", yang justru akan meniadakan psikologi hasil pemahaman proses-proses tertentu.
Akibatnya, Empati, simpati teradap orang lain, memahami penderitaan orang lain berubah menjadi sesuatu yang tidak perlu. "Mereka yang bukan golonganku, bukanlah urusanku".
0 comments:
Post a Comment